Archive for the ‘Inspiring People’ Category

Nisro, Melestarikan Salak Menambah Penghasilan

Senin, 22 Desember 2008 | 00:50 WIB

WINARTO HERUSANSONO

Memasuki jalan setapak di Dusun Kalimendong, Wonosobo, Jawa Tengah, orang harus berhati-hati. Sepanjang kanan kiri tepi jalan selebar 1,5 meter itu penuh dengan pohon salak setinggi sekitar 2 meter. Bila tak hati-hati, badan bisa tergores duri salak yang runcing. Ratusan pohon salak itu juga tumbuh lebat di bawah tegakan pohon pinus dan pohon albasia.

Ini tumpang sari pertama di Jawa Tengah, menanam pohon salak di bawah tegakan pinus. Ketika berumur empat tahun, pohon salak bisa berbuah. Panen pertama, mematahkan mitos salak tak bisa tumbuh baik di bawah pohon pinus,” kata Nisro, Ketua Masyarakat Hutan Rimba Mulyo di Kalimendong, Kecamatan Leksono, Wonosobo.

Berkat tumpang sari pula, salak mengantarkan Nisro menjadi juara tingkat nasional kategori kepala desa penggerak pembangunan kehutanan. Alhasil, pada 6 Desember 2006, Nisro yang juga Kepala Desa Kalimendong menerima penghargaan sebagai penggerak pembangunan kehutanan dari Menteri Kehutanan.

Prestasinya itu juga mengantarkan Kelompok Tani Hutan Rakyat Sido Makmur di Desa Kalimendong menyabet juara nasional kategori kelompok tani hutan yang berprestasi pada 2006. Atas prestasinya itu, pria lulusan SMA ini kerap diminta menjadi penyuluh.

”Mengajak warga desa melestarikan hutan itu harus dengan semangat berbagi. Selain agar hutan tetap lestari, masyarakat juga bisa hidup dengan penghasilan layak. Tanpa penghasilan, sehebat apa pun hutan dijaga, tetap akan dijarah,” kata Nisro.

Pendataan tanaman salak pada 2008 mencapai 36.000 pohon dan hampir 60 persennya telah panen. Upaya menambah jumlah pohon salak dia lakukan melalui pembibitan sendiri.

Pilihan pada salak sebagai penopang kehidupan masyarakat tak salah. Sebab, pohon salak berbuah sepanjang tahun, dengan masa subur sampai 10 tahun. Rata-rata umur pohon salak di Kalimendong adalah 4-5 tahun, berarti masih cukup waktu untuk mengganti salak tua dengan pohon baru.

Rumadi, petani salak yang menemani Nisro, menambahkan, salak memberi penghasilan Rp 12.500 per pohon sehari. Setiap petani memiliki 25-50 pohon salak. ”Kami perkirakan pada 2009 akan ada penambahan pohon salak baru sekitar 1.000 pohon,” katanya.

Mencegah pembalakan

Tekad Nisro mengajak warga Kalimendong mengembangkan tanaman salak di pekarangan, kebun, ladang, dan kawasan hutan rakyat bercermin dari kerusakan hutan di desa-desa tetangga. Krisis moneter 1998 berimbas sampai desa yang berbatasan dengan hutan.

Hutan rakyat dan hutan produksi milik Perhutani dijarah masyarakat. Lahan kosong digarap untuk pertanian, tetapi tak sedikit pula yang dibiarkan menjadi lahan kritis.

”Ketika terjadi penjarahan hutan, syukurlah hutan di Kalimendong selamat. Itu berkat kesigapan warga yang turut menjaga hutan dari pembalakan pihak luar,” katanya.

Ketika pembalakan terjadi, ia baru setahun menjadi Kepala Desa Kalimendong. Ia berusaha membangkitkan kesadaran warga akan pentingnya menjaga hutan. Kuncinya, hutan harus dikelola bersama dan memberi hasil bagi warga.

”Melestarikan hutan tak bisa hanya dengan menanam pohon. Kalau pohon yang ditanam tak dirasakan hasilnya, warga tetap miskin. Hutan juga harus berfungsi sosial-ekonomi,” kata Nisro.

Ia menyadari, tanaman salak bisa berfungsi ganda, melestarikan hutan dan meningkatkan pendapatan warga desa. Saat itu, banyak lahan di hutan produksi milik Perhutani yang bisa dimanfaatkan untuk perluasan tanaman salak. Pilihannya tak salah, salak telah memicu warga untuk bahu-membahu menjaga kelestarian hutan. Hingga kini kawasan hutan di Kecamatan Leksono, termasuk Desa Kalimendong, tetap asri.

Di lahan hutan produktif seluas 69 hektar milik Perhutani, pohon-pohon pinus masih utuh. Nisro selaku Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) mengajukan izin menanam salak di bawah tegakan pinus di dua petak, seluas 19 hektar. Di lahan itu ditanam 16.000 pohon salak dari target 24.000 pohon.

Ia juga mendukung kelompok tani hutan Sido Mulyo yang anggotanya pesanggem (petani hutan) untuk menanam albasia di bawah tegakan pinus. Sudah 16.623 pohon yang ditanam. Tanaman albasia itu memberi tambahan penghasilan bagi 510 anggota pesanggem.

Cara penanaman seperti itu membuat setiap petani memperoleh tambahan penghasilan sekitar Rp 6 juta setahun. ”Setiap penambahan penghasilan dari pengelolaan hutan bersama warga itu semakin meyakinkan saya bahwa jika penduduk makmur, hutan akan lestari,” katanya.

Menuju desa wisata

Setelah 10 tahun memperjuangkan kelestarian hutan melalui pengembangan salak dan albasia, Nisro berharap desanya kelak menjadi desa wisata. Kalimendong berada di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut, berhawa sejuk, dan terletak sekitar 16 km arah barat Kota Wonosobo.

Penduduk desa yang berjumlah 3.308 jiwa (713 keluarga), kata Nisro, berhasil memecahkan problem pemanfaatan hutan untuk masyarakat setempat.

Salak dan albasia telah mengantarkan warga memperoleh penghasilan lebih. Dibandingkan dengan saat masih bertani jagung dan cengkeh, penghasilan warga Kalimendong belakangan ini jauh lebih baik. ”Virus” menanam pohon salak telah menyebar di 14 desa di dua kecamatan terdekat, yakni Leksono dan Sukoharjo.

Tak hanya pesanggem yang menikmati salak dan albasia, hasil panen pun dirancang bersistem bagi hasil dengan Perhutani. Dari tiap pohon salak, petani menyumbang Rp 1.000. Rinciannya, Rp 800 untuk Perhutani dan Rp 200 untuk kas LMDH per tahun. Sementara itu, sumbangan albasia, 40 persen untuk Perhutani, 20 persen bagi LMDH, dan pesanggem mendapat 40 persen.

Meski sudah menunjukkan kepedulian terhadap kelestarian hutan, Nisro belum puas. Keasrian desa dan hasil panen salak yang melimpah ingin dia bagi dengan para tamu yang datang ke desa di lereng Gunung Sumbing ini.

”Kalau orang mengunjungi desa ini, saya ingin tak hanya untuk studi banding, tetapi juga piknik menikmati hutan yang asri, sejuknya hawa desa, sambil makan salak,” tutur Nisro.

Untuk itu, ia menyiapkan satu dari tiga rencana gardu pandang agar pengunjung leluasa menikmati pemandangan pegunungan. Satu gardu pandang itu telah dimanfaatkan pencinta alam dan petugas Perhutani bila hendak bertemu pesanggem.

Nisro juga merintis peternakan kambing ettawa dan kambing lokal. Ternak kambing itu mencapai lebih dari 1.800 ekor. ”Di desa ini banyak tanaman kaliandra yang bisa menjadi pangan ternak. Ini juga bisa menambah penghasilan warga desa,” kata Nisro, sosok yang seolah tak pernah kehabisan ide kreatif ini.


Data Diri

Nama: Nisro

Lahir: 16 Juni 1967

Pendidikan: SMA

Istri: Rokayah

Anak:

– Oktavi Kurniasari (19)

– Agustina Rahayu (13)

– Roni Putra Febriawan (9)

– Aji Setyo Nugroho (3)

Aktivitas:

– Ketua Masyarakat Hutan Rimba Mulyo di Kalimendong, Kecamatan Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

– Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan

Penghargaan:

Penggerak Pembangunan Kehutanan dari Menteri Kehutanan, 2006

sumber : kompas cetak edisi 22 desember 2008

Hendrati, “Pesulap” Limbah dari Boyolali

enin, 15 Desember 2008 | 03:00 WIB

Antony Lee

Kulit buah jangkang kering bagi masyarakat di Tlatar, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, hanya akan berakhir di tempat sampah, bahkan di tungku perapian. Namun, dengan sedikit sentuhan ide dari Hendrati, limbah ini ”disulap” menjadi produk kerajinan yang unik dan bernilai ekonomi.

Di Boyolali, pohon jangkang banyak ditemukan di sekitar Umbul Tlatar. Setelah matang, kulitnya pecah merekah dan berwarna hitam dengan buah berbentuk kapsul berderet di sisi-sisi kulitnya. Buahnya keras dan terasa pahit. Oleh karena itu, oleh penduduk setempat, buah jangkang dibuang begitu saja, sedangkan kulitnya dijadikan bahan bakar.

Hendrati tertarik pada kulit buah ini karena melihat bentuknya yang unik, mirip badan kambing atau kepala kodok. Awalnya, dia membawa pulang beberapa kulit jangkang untuk dijadikan aksesori tambahan bunga dengan dipadukan bersama kulit jagung. Namun, hasilnya tidak terlalu bagus.

Ia lalu mencoba menggabungkan dua kulit buah jangkang. Satu dengan bagian yang merekah berada di bawah sebagai badan, sedangkan satu lagi sebagai kepala dengan posisi menyamping. Empat buah jangkang yang berbentuk oval diletakkan pada empat bagian badan, menjadi kaki yang direkatkan dengan alas dari susunan sendok es krim.

Sementara bagian kepala diberinya tambahan ”hidung” dari biji buah terasi dan sepasang mata boneka. Di tepian alasnya, dia tambahkan hiasan dari biji- bijian. Hasilnya adalah pajangan sekaligus tempat pensil berbentuk hewan yang disebutnya ”Timi”.

”Hampir setiap hari kulit jangkang ini berserakan tidak jauh dari sumber air Tlatar. Tidak ada yang meliriknya sama sekali karena tidak bisa dikonsumsi dan nilai ekonominya nyaris tidak ada. Sayang sekali kalau hanya dibakar,” tutur Hendrati di ruang produksinya di Sunggingan, Boyolali, awal Desember lalu.

Kulit buah jangkang yang sudah menjadi ”Timi” ternyata laris di pasaran dengan harga Rp 20.000 per buah. Dengan sedikit ”sulapan”, limbah yang semula bernilai ekonomi sangat rendah ini bisa berubah.

Hendrati biasa membeli satu karung kulit buah jangkang Rp 5.000. Dari bahan baku satu karung itu, dia bisa menghasilkan sekitar 100 ”Timi”.

Dalam satu hari, Hendrati yang dibantu lima perajin dapat menghasilkan sekitar 50 ”Timi”. Kerajinan tangan ini kemudian dijualnya ke Jakarta hingga ke luar Jawa, seperti Bali. Tak puas sampai di sini, dia juga tengah menjajaki kerja sama dengan broker yang menawarkan untuk mengekspor produk kerajinan tersebut.

Para pembeli kerajinan Hendrati umumnya mengetahui produk itu setelah melihat di pameran. Hendrati termasuk rajin mengikuti pameran yang diadakan di berbagai kota di Jateng.

Koran bekas

Sebelum bergelut dengan limbah jangkang, Hendrati membuat usaha kerajinan dari daur ulang limbah koran bekas sekitar satu setengah tahun lalu. Ia bertutur, tumpukan kertas koran jika dibiarkan hanya akan menjadi sarang tikus. Kalaupun dijual, hanya laku sekitar Rp 1.800 per kilogram.

Tanpa sengaja, dia memelintir potongan kertas koran dan ternyata bisa terjalin dengan kencang.

”Dari sini muncul ide untuk menjadikan kertas koran sebagai kerajinan tempat payung yang dijalin. Saya yakin hampir semua jenis barang yang dianggap tidak berguna itu sebenarnya bisa dibuat menjadi sesuatu yang bagus, kalau ditambah ’sedikit’ kreativitas,” ucapnya.

Kebetulan pula, pada saat itu usaha interior ruangan yang sudah 10 tahun ditekuninya sedang vakum karena penjahitnya berkurang. Hendrati lalu mengajak lima tetangganya mencoba membuat kerajinan berbahan baku koran bekas yang lalu mendapat sambutan pasar.

Tak lama kemudian, dia menambah produk kerajinannya dengan limbah pertanian, seperti biji-bijian, kulit jagung, dan tangkai padi.

Biji terasi (biji dari buah yang baunya seperti bau terasi), mindi, dan koro diberinya warna menarik, lalu disusun di atas potongan batok kelapa berdiameter sekitar 5 cm. Hasil jadinya adalah sebuah bros cantik.

Sambil berbincang, Hendrati mempraktikkan pembuatan bros, yang ternyata butuh tidak sampai lima menit. Sementara kulit jagung dia jadikan bunga buatan, tangkai padi kering dianyamnya dan dijadikan kelopak bunga.

Salah satu kreativitas andalan Hendrati ialah hiasan dinding dari anyaman lidi. Anyaman ini dihias dengan bunga dari pelepah pisang yang pada bagian tengahnya diberi tambahan marigold kering. Aksesori ini ditambahnya dengan beberapa tangkai sorgum kering, juga tiga bunga kecil yang menggunakan biji koro sebagai kelopak bunga serta marigold.

Lapangan pekerjaan

Hendrati sejak tahun 1988 menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Boyolali. Suaminya, Eko Agus Sunanto, juga seorang PNS. Dengan gaji tetap pasangan suami-istri ini, kebutuhan keluarga dapatlah terpenuhi.

Namun, dengan tanggung jawab enam anak mereka, Hendrati kemudian menjadi ragu, akankah mereka bisa membiayai semua anaknya untuk mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi?

Oleh karena itu, sejak 10 tahun lalu dia memulai usaha pembuatan seprai dan kebutuhan interior rumah lainnya. Dari usaha ini, dia bisa membantu suaminya membiayai kuliah tiga anak mereka di Akademi Kesejahteraan Sosial di Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Indonesia.

Ketertarikan pada limbah pertanian sebenarnya sudah dia mulai sejak masih kanak-kanak karena Hendrati kecil sering diajak sang ayah yang bertugas di Kawedanan Wonosegoro (Boyolali) berkeliling melihat lahan pertanian.

”Apalagi suami saya juga bekerja di dinas pertanian, saya beberapa kali menemani dia kalau sedang ada peninjauan lapangan. Sejak tiga tahun lalu saya mulai tertarik lagi dan baru serius menjadikannya sebagai sebuah usaha,” tuturnya.

Meskipun usaha produk interiornya masih berjalan, Hendrati mengaku lebih fokus pada produk kerajinan dengan bahan baku limbah. Selain modalnya relatif lebih kecil, produk kerajinan juga bisa membuka lapangan pekerjaan, mulai dari perajin yang bekerja di rumah produksinya maupun orang- orang yang mengumpulkan bahan bakunya.

Agar usaha kerajinan ini bertahan, dia berpegang pada prinsip, jangan pernah berhenti berkreasi dan mau mendengarkan orang lain. Hendrati meminta para perajin tak malu-malu membawa limbah pertanian yang ada di sekitar rumah mereka kepadanya. Selanjutnya baru dia pikirkan akan dijadikan apa limbah tersebut.

Meskipun sibuk mengurusi kerajinan limbah, Hendrati mengaku tidak membolos dari tugasnya sebagai PNS. Setiap pagi ia sudah membuat daftar pekerjaan yang harus dilakukan para perajin. Baru sepulang dari kantor dia akan mengontrol hasil kerajinan yang dibuat para perajin.

sumber : kompas cetak edisi 15 desember 2008

Rinco Norkim, Menjaga Tempat Bermain

Rabu, 10 Desember 2008 | 03:00 WIB

Oleh C Anto Saptowalyono

Masa kecil adalah masa terindah. Itulah yang dirasakan Rinco Norkim ketika berbicara mengenai masa kecilnya. Kenangan masa kecil dia yang tidak lepas dari hutan Mangkatip, Kecamatan Dusun Hilir, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Pada saat usianya menginjak kepala enam, Rinco tergugah untuk menjaga hutan tempatnya bermain pada masa kecil dulu.

Dia tidak ingin anak cucu kita nanti cuma bisa mendengar tentang pohon ramin, tetapi tidak pernah melihat wujud pohonnya. Mereka hanya bisa membaca tentang adanya ikan jelawat, tetapi tidak pernah melihat ikannya secara langsung.

Alasan Rinco sederhana saja. Pada masa kecil, dia masih sempat bermain-main di hutan Mangkatip yang ditumbuhi pohon ramin, dan memancing ikan jelawat di rawa sekitarnya. Namun, belakangan ini, banyaknya areal hutan di Kalteng yang rusak mengakibatkan sebagian flora dan fauna hutan itu kian sulit ditemui.

Namun, Rinco menyadari bahwa menyelamatkan hutan jelas merupakan pekerjaan raksasa, apalagi kalau konteksnya adalah luasan hutan kritis di Kalteng yang mencapai 7,5 juta hektar (menurut taksiran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng). Maka, dia pun tidak berpretensi menyelamatkan jutaan hektar hutan yang kritis itu.

”Saya hanya ingin menjaga hutan tempat saya bermain dulu. Kebetulan ada kerabat di desa ngomong kepada saya bahwa hutan di Mangkatip sampai sekarang kondisinya relatif masih bagus,” kata lelaki yang pernah menjabat sebagai Pembantu Rektor II Universitas Palangkaraya (1995-1999) ini.

Rinco kemudian pergi ke Mangkatip untuk melihat hutan yang disebut-sebut masih perawan itu. Dijumpainya hamparan hutan seluas sekitar 250 hektar yang berbatasan dengan areal Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar.

Hutan Mangkatip itu masih beruntung karena pohon-pohonnya tidak habis dibabat sebagaimana terjadi di kawasan PLG. Aneka pohon masih ditemukan di sini, seperti meranti, belangeran, ramin, dan jelutung. Adapun satwa yang ditemui di hutan itu antara lain bekantan, orangutan, dan beragam jenis burung serta ikan. Berbagai spesies anggrek hutan juga ada di hutan Mangkatip.

”Ada juga tanaman kantong semar yang gedenya seperti saksofon,” kata Rinco yang tahun 1988-1989 turut mencetuskan berdirinya Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Komodo Universitas Palangkaraya. Saat itu dia menjadi Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi di perguruan tinggi tersebut.

Berbekal rekomendasi dari Kepala Desa Mangkatip dan izin Camat Dusun Hilir serta Bupati Barito Selatan, Rinco beserta beberapa warga setempat bersepakat bersama-sama menjaga kawasan hutan Mangkatip agar tidak ditebangi. Mereka juga berusaha agar kawasan hutan itu jangan sampai terbakar pada musim kemarau.

Konservasi

Dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Kalteng, hutan Mangkatip termasuk dalam kawasan konservasi flora dan fauna.

Oleh karena itu, Rinco lalu meminta izin kepada Pemkab Barito Selatan untuk mengelola kawasan hutan Mangkatip. Gayung bersambut, pemerintah setempat memberikan lampu hijau kepada Rinco untuk menjaga kawasan itu.

Maka, mulai awal 2004 ia berkali-kali melakukan pendekatan kepada warga sekitar hutan Mangkatip. Agar penjagaan kawasan hutan lebih terorganisasi, Rinco kemudian mendirikan LSM Lestari Hutanku. LSM itu disahkan pada 14 Maret 2007 dengan akta notaris, dan dua hari kemudian terdaftar di Pengadilan Negeri Palangkaraya.

Langkah LSM Lestari Hutanku untuk menjaga kawasan hutan Mangkatip dari jarahan penebang liar, antara lain, dengan membangun empat kamp pemantauan. Dirintis pula pembuatan jalan setapak sepanjang tujuh kilometer yang mengelilingi areal hutan.

Setidaknya ada lima warga yang bernaung di LSM Lestari Hutanku dengan tugas memantau hutan Mangkatip secara bergantian. Setiap hari mereka diberi upah Rp 50.000. ”Selama ini biaya operasional pengamanan hutan Mangkatip itu masih dari kantong sendiri,” kata anggota DPRD Kalteng periode 2004-2009 ini.

Meski sudah mengantongi izin, Rinco tetap khawatir. Pasalnya, kegiatan pengawasan hutan Mangkatip itu tak mungkin selamanya dibiayai dari kantongnya sendiri. Dia berharap pemerintah daerah mau mendukung kegiatan tersebut.

Sejauh ini, LSM Lestari Hutanku mencatat ada 32 jenis pohon di hutan Mangkatip, termasuk memberi nomor pada pohon-pohon tersebut. Secara psikologis, pemasangan pelat bernomor efektif mencegah orang yang berniat menebang pohon di hutan itu.

Rinco menuturkan, dia pernah ditawari uang Rp 1 miliar oleh sebuah perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) di Kalteng. Perusahaan itu ingin agar pengelolaan hutan Mangkatip diserahkan kepada mereka sehingga dapat menjadi lokasi percontohan pengelolaan hutan oleh perusahaan HPH bersangkutan.

”Tawaran ini saya tolak. Saya ingin menjaga hutan Mangkatip itu karena memang ingin melihatnya tetap lestari seperti dulu. Ini agar anak cucu bisa melihatnya, bukan untuk diperjualbelikan,” katanya.

Bahaya kebakaran

Papan berisi imbauan untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran pun dipasang di beberapa lokasi. Rinco juga berkeinginan agar kawasan ini bisa dijadikan lokasi penelitian karena masih banyak jenis flora dan fauna yang belum terdata.

Dia mencontohkan, di hutan Mangkatip ada sejenis pohon yang diameter batangnya mencapai 40 sentimeter. Jika kulit batang pohon ini ditusuk, akan keluar getah bening yang menjulur serupa tali.

Ketika mengering, getah itu menjadi liat seperti agar-agar. Jika dipotong kecil-kecil (seukuran ujung jari kelingking orang dewasa) dan dimasukkan dalam baskom berisi air, air di wadah itu akan menjadi liat juga seperti agar-agar. Warga setempat acap menggunakan agar-agar dari getah pohon itu untuk mengobati penderita panas dalam.

”Saya sudah bertanya ke kolega di Jurusan Kehutanan Universitas Palangkaraya, tapi sejauh ini belum ada yang tahu spesies pohon itu,” kata Rinco yang di pengujung tahun 2007 meluncurkan buku karyanya, Menuju Pengelolaan Hutan Lestari.

Buku dengan kata pengantar Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang dan Bupati Barito Selatan Baharudin Lisa ini disebarkan ke lingkup kantor pemerintah daerah serta dijual melalui beberapa toko buku di Kalteng dan Kalimantan Selatan.

Lewat bukunya, Rinco berharap akan semakin banyak orang yang mau peduli terhadap pelestarian hutan. Direktur CV Daya Kreatif Eka Dolok Martimbang, penerbitnya, mengatakan, ”Kami sungguh mengapresiasi kepedulian dan kesungguhannya untuk melestarikan hutan di Mangkatip.”

sumber : Kompas Cetak edisi 10 Desember 2008

Yumirna, Langkah Kecil Pascarehabilitasi Nias

Kamis, 11 Desember 2008 | 03:00 WIB

Oleh AUFRIDA WISMI WARASTRI

Kesedihan dan kehilangan tentulah dirasakan Yumirna Zega, seperti umumnya para korban gempa dan tsunami yang melanda Pulau Nias, Sumatera Utara, tahun 2005. Namun, kesedihan dan kehilangan itu tak dia biarkan mengendap lama. Yumirna bangkit, ia rajin mengelola warung makan. Hasil dari keuntungan berjualan makanan itu, antara lain, untuk membeli notebook seharga Rp 6 juta agar anak-anaknya fasih dengan komputer.

Meski bisa dikatakan Yumirna ”sukses”, belakangan ini Yumirna merasa gelisah. Kegalauannya itu diikuti pertanyaan, apakah yang akan terjadi pada Pulau Nias saat Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Regional Nias berikut lembaga-lembaga internasional keluar dari pulau ini?

Kegelisahan yang beralasan. Tanggal 22 Desember 2008, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Regional Nias resmi menutup kantornya. Meski ada tim penuntasan yang akan menyelesaikan proses rekonstruksi di pulau ini, kecemasan itu secara manusiawi muncul juga.

Pulau yang tertinggal di Provinsi Sumatera Utara itu mendapat kucuran dana Rp 1,3 triliun per tahun pascagempa dan tsunami. Semua itu harus berakhir. Ribuan orang yang bekerja di Nias mulai keluar sejak pertengahan tahun 2008 ini.

”Mau tak mau saya kepikiran juga, seperti apa kami nanti?” tutur Yumirna, pemilik warung nasi Andy Mursyid di Jalan Masjid, Desa Tetehösi, Kecamatan Idanögawo, Kabupaten Nias.

Warung nasi itu dia bangun bersama suaminya, Yasmin Harefa (50), mantan Kepala Desa Bozihöna, Kecamatan Idanögawo, selama dalam pengungsian akibat gempa dan tsunami.

Ketika gempa menggoyang Pulau Nias, 28 Maret 2005, Yasmin, Yumirna, dan lima anak mereka langsung meninggalkan rumah. Mereka berjalan kaki 12 kilometer selama dua jam, menembus malam dari Bozihöna sampai ke lapangan Idanögawo.

”Kami berjalan sambil terus berpegangan pada seprai supaya tidak terpisah satu sama lain,” kata Yasmin. Keluarga itu hanya sempat membawa senter dan selimut.

Di Desa Bozihöna, sebelum tsunami menerjang, mereka mempunyai warung yang melayani warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk kebutuhan melaut para nelayan. Tiga hari setelah mengungsi, Yasmin baru pulang menengok rumah. Warungnya sudah kosong dan berantakan, selain rusak karena gempa dan tsunami, isi warung juga dijarah orang.

Lebih dari tiga bulan keluarga Yumirna-Yasmin bersama ratusan keluarga lain hidup di tenda di seputar lapangan Idanögawo. Tenda yang mereka tempati pun bermacam-macam, dari tenda darurat hingga tenda semipermanen. Untuk makan dan minum, mereka pun mengandalkan bantuan meski warga juga turut bekerja di dapur umum.

Warung kecil

Namun, apa enaknya hidup mengandalkan bantuan tanpa pemasukan sendiri?

Yumirna berinisiatif membuka warung kecil di bawah tenda bantuan UNHCR. Ia mendapat pinjaman dari tetangganya, Ama Raya, berupa satu meja darurat, gelas, piring, setengah kilogram gula, satu bungkus teh, seperempat kilogram kopi, dan satu kardus mi instan. Mulailah Yumirna berjualan.

Satu demi satu pekerja lembaga swadaya masyarakat (LSM) mampir ke warungnya. Sebagian mereka bertanya mengapa tak ada nasi? ”Tidak ada modal untuk berjualan nasi,” jawabnya. Mereka berjanji akan datang lagi ke warung itu jika Yumirna menyediakan nasi.

Ia lalu berupaya mencari pinjaman uang agar bisa menyediakan nasi bagi pelanggan. Ia berutang Rp 100.000 untuk membeli beras, ikan, daun ubi, bumbu-bumbu, dan bahan bakar. ”Satu piring nasi saya jual seharga Rp 5.000.”

Awalnya warung hanya dikunjungi satu-dua pembeli, lalu bertambah menjadi rata-rata tujuh pembeli per hari. Para pekerja LSM pun menyebarkan keberadaan warung Yumirna dari mulut ke mulut. Selain pekerja LSM, ia kemudian juga memasak untuk pekerja bangunan menara BTS (based transceiver station) telepon seluler dan pekerja bangunan rumah BRR.

”Memang kami harus banyak bergaul supaya banyak yang pesan makanan kepada kami,” tuturnya.

Ia juga menjadi anggota kelompok usaha kecil dampingan LSM internasional Oxfam yang beranggota 15 perempuan. Di kelompok bernama Penggalas itu, Yumirna mendapat pinjaman Rp 3.250.000. Uang itu ia gunakan untuk membeli kompor dan alat dapur agar bisa menambah menu mi sop sebagai dagangan. Penghasilannya mencapai Rp 200.000-Rp 300.000 per hari.

Namun, dari 15 orang itu hanya Yumirna yang bertahan. ”Tak ada yang berhasil, banyak orang tidak sabar. Kalau orang jualan kan mesti sabar,” katanya.

Menyewa dua kapling

Kesabarannya menuai hasil. Warungnya yang semula di tenda bantuan, setelah beberapa kali pindah, kini menempati bangunan yang terbuat dari kayu beratap seng di kompleks Pasar Idanögawo. Ia menyewa dua kapling yang sekaligus menjadi tempat tinggal.

Yumirna bercerita, warungnya berkembang karena Oxfam banyak memesan makanan kepadanya, terutama nasi bungkus dan penganan untuk peserta pelatihan yang diselenggarakan LSM tersebut. Sekali pesan, jumlahnya ratusan paket.

Ia menunjukkan pembukuan warung yang juga diajarkan Oxfam. Selain Oxfam, beberapa LSM lain juga memesan makanan kepadanya. ”Nanti, kalau mereka pergi, langganan saya berkurang,” tuturnya bernada khawatir.

Bagaimanapun, keuntungan berjualan makanan sudah dirasakan Yumirna dan keluarga. Tak hanya bisa menutupi kebutuhan makan sehari-hari, ia juga bisa membuat warung. Ia juga mampu membeli notebook seharga Rp 6 juta agar anak-anaknya fasih dengan komputer.

Bahkan, dengan notebook itu anak-anaknya dilatih membuka jasa pengetikan. Anak-anaknya juga membantu pekerjaan di warung, apalagi saat ada banyak pesanan.

Si sulung, Faznir Syam Harefa (18), bahkan mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, hasil kerja sama dengan IAIN di Medan.

Namun, Yumirna masih punya ”ganjalan”. Sebelum gempa datang, ia punya pinjaman pada BRI sebesar Rp 22 juta. Saat gempa dan tsunami menerjang Nias, baru tiga kali dia mengangsur.

”Setelah itu, kami tidak bisa membayar lagi. Namun, kami tetap akan datang ke BRI untuk membicarakan masalah ini supaya nama baik ini terjaga,” kata Yumirna yang sudah menyelesaikan kursus membordir. Sayang, ia belum bisa membuka usaha bordir karena keterbatasan dana.

Di desa mereka, Yasmin sudah membersihkan lahan seluas satu hektar untuk bertanam cokelat. Kerja keras itu sebagai upaya mereka agar dapat menabung, terutama untuk membiayai sekolah keenam anaknya.

Pada Desember ini, Yumirna merasakan Pulau Nias mulai sepi. Namun, dia sepenuhnya sadar, warga setempat harus bisa mandiri saat bantuan tiada lagi. Mereka benar-benar harus mampu berdiri di atas kaki sendiri.

sumber : Kompas Cetak edisi 11 Desember 2008

Slamet Riyanto dan Karakter Anak Bangsa

Oleh

IRENE SARWINDANINGRUM

Belajar bahasa asing tak berarti menjadi orang asing. Prinsip inilah yang mendasari niat Slamet Riyanto menyadur dongeng di Nusantara ke dalam bahasa Inggris. Dari balik barisan perbukitan, guru Bahasa Inggris SMA Negeri 2 Wonosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, ini berusaha menjaga anak bangsa agar tak menjadi asing terhadap budaya sendiri.

Menurut warga Kepek, Wonosari, Gunung Kidul, ini, generasi muda semakin tak kenal nilai-nilai budaya bangsanya. Ini karena tak ada yang mengenalkannya kepada mereka. Maka, mengalirlah sekitar 40 karya saduran Slamet yang tercetak dalam seri buku cerita dongeng. Buku dalam bahasa Inggris ini terutama untuk para pelajar.

Bagi dia, dongeng rakyat menyimpan petuah dan kebijaksanaan dalam kesederhanaan. Bentuk seperti inilah yang perlu diteruskan dari generasi ke generasi. Kadang petuah itu menjiwai seluruh dongeng, beberapa di antaranya ia sisipkan dengan jelas.

Dalam The Legend of Dewi Sri, misalnya, Slamet menyisipkan nasihat untuk menjaga lingkungan. ”Meski sederhana, nilai-nilai itu sangat mendasar untuk membentuk karakter anak, seperti menghormati orangtua, menjaga lingkungan, atau jangan serakah,” ujarnya.

Keprihatinannya itu timbul ketika Slamet kesulitan menemukan bahan ajar yang bernapaskan budaya Indonesia untuk para murid. Sebagian besar cerita berbahasa Inggris merupakan kisah-kisah dari negara asing.

Jarang didongengi

Tak juga menemukan bahan ajar yang diharapkan, Slamet bertekad membuat sendiri bahan penunjang pelajaran yang dekat dengan budaya bangsa Indonesia. Walaupun pada masa kecilnya jarang didongengi orangtua, ia masih sering mendengar dongeng-dongeng itu dari kerabat atau tetangga. Sampai kini petuah-petuah dongeng itu masih mengendap di benaknya.

Slamet juga gemar membaca. Di ruang tamunya, di bawah poster besar mantan Presiden RI Soekarno dan Soeharto, terdapat rak yang sarat berbagai jenis buku, mulai buku agama, komputer, hingga novel. Dalam empat hari, ia biasanya membaca tiga buku. Slamet pun telah membaca habis semua buku berbahasa Inggris di perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Sebagian buku lagi dia pinjam, antara lain dari berbagai perpustakaan di Yogyakarta.

Tahun 1997 ia mulai menuliskan dongeng-dongeng Nusantara dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini dilakukannya di sela-sela tugas sebagai guru Bahasa Inggris.

Berpengalaman mengajar selama 20 tahun, Slamet tak sekadar ”mengajar di depan kelas”. Ia pun aktif menarik minat para murid untuk menulis dalam bahasa Inggris. Hasilnya, sejak awal 1990-an para murid SMAN 2 Wonosari sudah menghasilkan majalah sekolah berbahasa Inggris, Kontras.

Tahun 1999, ia dan murid-muridnya diundang mengikuti Konvensi Kreativitas Guru Nasional di ITB. Dalam acara yang terselenggara atas kerja sama ITB, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Globetre Foundation Swedia ini, penampilan kelompok Slamet menarik perhatian Depdiknas.

Setelah itu, tanpa terduga, dana bantuan pengembangan pendidikan lalu mengalir ke sekolah di balik bukit itu. ”Seorang dirjen rupanya terkesan melihat sekolah terpencil, tapi murid-muridnya tidak kalah prestasinya dengan mereka yang bersekolah di kota,” ceritanya.

Sejak itu, motivasi Slamet untuk mengajar dan menulis semakin terpacu. Berbagai karyanya mengalir, seperti kumpulan cerita pendek dalam bahasa Inggris, Do It Please (2003), The Secrets of a Smart High School Student (2005), dan panduan berbahasa Gateway for Active Communication (2007). Sampai kini ia telah menulis lebih dari 78 buku berbahasa Inggris, termasuk serial dongeng.

”Sebagian besar buku itu terutama saya maksudkan untuk penunjang pelajaran Bahasa Inggris,” katanya.

Rasa lokal

Buku seri dongeng karyanya ditulis dalam pola kalimat dan struktur yang sederhana agar mudah dimengerti siswa. Khusus untuk buku dongeng, Slamet terutama menyasar pelajar SD dan SMP.

Umumnya dongeng karyanya kental dengan nuansa lokal. Dalam buku Do It Please, misalnya, Slamet berkisah tentang pengalaman lucu Deddy, seorang pelajar SMA, dalam suatu liburan sekolah. Untuk menambah rasa lokal, ia sengaja tidak menerjemahkan atribut tokoh dalam bahasa Inggris.

Pada buku The Story of Timun Emas, ia tetap menyebut orangtua Timun Emas sebagai Pak Simin dan Bu Simin, bukan Mr dan Mrs Simin, atau Prabu Rama dalam The Legend of Dewi Sri. Setiap buku itu juga dilengkapi panduan membaca dongeng dan teori singkat tentang bahasa Inggris. ”Teori dan panduan ini ditambahkan oleh penerbit,” kata Slamet.

Hasil dari penerbitan karyanya itu, Slamet bisa membangun rumah berlantai dua yang sempat rusak akibat gempa pada 2006. Namun, keuntungan yang baginya tak bisa dinilai dengan uang adalah kesempatan bertemu penulis buku pelajaran Bahasa Inggris yang selama ini digunakannya untuk panduan mengajar, yakni Jeremy Hamer dan Jack Richard.

Pertemuan itu berlangsung pada Konferensi Guru Bahasa Inggris se-Asia (Teacher English as a Foreign Language/TEFL), di mana ia diundang sebagai salah satu pembicara, Agustus lalu di Bali. Tema konferensi ini, ”Globalizing Asia: The Role of English Language Teacher”, rupanya sesuai dengan kiprahnya.

Guru sejati

Kepala Dinas Pendidikan DI Yogyakarta Suwarsih Madya menyebut Slamet sebagai guru sejati yang mau berbuat demi kemajuan pendidikan, tanpa mengharap imbalan. Tanpa fasilitas berlebih dari pemerintah, ia membuktikan kemandirian dan kemauan dengan mengolah hal-hal sederhana menjadi bahan ajar. Buku-bukunya mampu mengasah kemampuan akademis murid, juga memperkuat karakter siswa.

”Buku dongeng berbahasa Inggris yang dia tulis merupakan terobosan. Tak muluk-muluk, tapi justru mengakar pada jati diri bangsa,” kata Suwarsih yang tengah membimbing Slamet untuk menyelesaikan disertasi studi pascasarjana di UNY.

Meski karyanya sudah terpajang di toko-toko buku di berbagai kota, dalam kehidupan sehari-hari Slamet relatif tetap sederhana. Hak atas karya-karya sadurannya telah dia jual kepada pihak penerbit sehingga selaris apa pun bukunya, tak menambah pendapatannya.

Walaupun begitu, tekad Slamet untuk menulis tidak padam. Ia bahkan tak ingin menghitung biaya yang harus dikeluarkan dari koceknya untuk riset dan fotokopi.

”Bagaimanapun, kepuasan batin itu tidak tergantikan dengan uang. Kalau soal penghasilan, ya biarkan Yang di Atas saja yang mengatur,” katanya.

sumber : kompas cetak edisi 12 desember 2008

Sumanto, Pustakawan dari Bantul

Berkeliling dengan sepeda onthel untuk menyewakan buku secara cuma-cuma adalah aktivitas sehari-hari Sumanto, selama empat tahun sebelum gempa melanda Bantul pada 2006. Setelah gempa, aktivitas keliling itu tetap dilakukannya. Namun, dia tak lagi menggunakan sepeda onthel, tetapi dengan sepeda motor beroda tiga, sumbangan dari orang yang bersimpati kepadanya.

Kegiatan menyewakan buku-buku itu mulai digeluti Sumanto sejak tahun 2003. Pengalamannya menjadi tenaga survei dalam proyek pengentasan kemiskinan telah membuka matanya akan arti pentingnya membaca bagi masyarakat di lapisan apa pun.

”Dalam kegiatan survei itu, saya melihat banyak kemiskinan di sekitar desa saya. Salah satu penyebabnya karena minimnya tradisi membaca. Ini pun berkaitan dengan kesulitan mereka untuk membeli buku,” katanya.

Dengan koleksi sekitar 500 buku, Sumanto lalu mendirikan perpustakaan swadaya di rumahnya. Perpustakaan itu diberinya nama Mitra Tema. Memanfaatkan ruangan berukuran 2 x 6 meter, ia menata koleksi buku-bukunya.

Namun, Sumanto tak hanya berharap pada pengunjung yang mau datang ke rumahnya. Dia juga menjajakan buku-bukunya berkeliling ke berbagai tempat dengan sepeda onthel-nya.

”Saya harus berkeliling untuk ’menjemput bola’. Tidak mungkin saya hanya mengandalkan pembaca yang mau datang ke rumah. Kan, saya yang ingin mengajak masyarakat agar banyak membaca,” ceritanya.

Semua itu dikerjakan Sumanto nyaris tanpa pamrih apa pun. Ia tidak dibayar oleh siapa pun, dan ia juga meminjamkan koleksi buku-bukunya secara gratis. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia membudidayakan pisang dan singkong.

”Saya tetap harus menghidupi istri dan anak-anak saya. Selain bertani, saya juga harus bekerja di bidang bangunan,” kata Sumanto.

Ketika koleksi bukunya masih sedikit, Sumanto menyiasatinya dengan kreatif. Ia bekerja sama dengan perpustakaan keliling milik Pemerintah Kabupaten Bantul. Sistem kerja samanya, Sumanto bersedia mencarikan anggota baru bagi perpustakaan keliling asal ia bisa meminjam buku untuk kemudian dipinjamkannya lagi.

”Waktu itu belum banyak yang mau menyumbangkan buku. Kalau hanya mengandalkan koleksi saya sendiri, masyarakat pasti jenuh juga. Makanya, saya bekerja sama dengan perpustakaan keliling, yang waktu kunjungannya tidak terlalu sering,” katanya.

Lambat laun usaha Sumanto mulai mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Sumbangan buku kemudian terus mengalir. Kini, koleksinya sekitar 20.000 judul buku. Kondisi itu membuat dia makin bersemangat untuk mengajak masyarakat gemar membaca.

Saat gempa menimpa Bantul pada 27 Mei 2006, sebagian rumah Sumanto hancur, termasuk bangunan perpustakaan. Sekitar 3.000 buku rusak. Keterpurukannya itu mengundang simpati seorang distributor buku.

”Orang itulah yang membantu membangun kembali ruang perpustakaan,” katanya.

Sepeda motor

Pasca-gempa ia juga mendapatkan bantuan sepeda motor beroda tiga. Dengan fasilitas lebih baik, Sumanto bisa membawa sekitar 400 buku setiap kali berkeliling. Dulu, sewaktu menggunakan sepeda onthel, ia hanya mampu membawa 60 buku.

Wilayah kunjungannya juga makin luas. Kalau dulu ia hanya mampu menjangkau 52 titik di empat kecamatan (Imogiri, Pleret, Jetis, dan Bantul), belakangan bertambah menjadi 89 titik. Ada tiga kecamatan baru yang dirambahnya, yakni Sewon, Pundong, dan Bambanglipuro.

Titik-titik kunjungan perpustakaan kelilingnya berupa masjid, panti asuhan, toko-toko, dan kantor-kantor pemerintahan. Untuk lokasi yang pembacanya anak-anak, Sumanto memilih berkeliling seusai jam sekolah. Adapun untuk pembaca umum, biasanya ia datangi pada pagi atau sore hari.

Kegigihan Sumanto itu membuat jumlah peminjam terus bertambah. Selama tahun 2007, jumlah peminjam buku di perpustakaannya mencapai 7.156 orang, sedangkan pengunjung perpustakaan sampai 20.320 orang.

Meski tak memiliki latar belakang bidang perpustakaan, Sumanto tergolong piawai dalam mengelola perpustakaan. Buku-buku koleksinya dibagi menjadi kategori SD, SMP, SMA, agama, dan umum.

”Sistem pengelolaan itu saya pelajari dari perpustakaan milik Provinsi DIY di Jalan Malioboro. Kebetulan sewaktu SMA, saya sering nongkrong di tempat itu,” katanya.

Untuk membantu pengelolaan perpustakaan sewaktu ia berkeliling, Sumanto mempekerjakan seorang pegawai di perpustakaannya dengan upah Rp 300.000 per bulan.

Agar ia bisa membayar pegawainya itu, sang istri membuka tempat penitipan anak dengan tarif seikhlasnya. Beberapa keluarga yang menitipkan anak mereka pun memberinya sekitar Rp 50.000 per minggu. Selain itu, Sumanto juga menyewakan empat unit komputer dengan tarif Rp 500 per jam.

Jerih payah dan semangat Sumanto untuk menarik masyarakat agar gemar membaca, membuahkan hasil. Usahanya mengembangkan perpustakaan swadaya mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Ia antara lain menerima piagam Rekso Pustoko Bakti Tomo.

Ia berkisah, menjadi pustakawan bukan impiannya. Meski dilahirkan di Bantul, tetapi sejak 1982 Sumanto merantau ke Jakarta. Selama sekitar 13 tahun, dia bekerja di PT Astra International. Namun, ritme kerja yang cepat rupanya tak cocok baginya. Sumanto merasa teralineasi secara sosial. Ia lalu mengundurkan diri saat menempati posisi sebagai kepala stok mobil.

Setelah itu, ia berusaha mencari pekerjaan baru yang relatif tak terlalu mengikat dari segi waktu. Pilihannya jatuh di bidang asuransi.

Akan tetapi, mengingat kondisi orangtuanya di Bantul, Sumanto kemudian memutuskan kembali ke Bantul dengan segala risiko, terutama dari sisi finansial. Tujuannya satu, ingin mendampingi orangtua sebagai bentuk pengabdian seorang anak.

Sesampai di desa, ia sempat bingung tak punya pekerjaan tetap. Semua tawaran kerja dilakoninya, termasuk menjadi anggota tim survei Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Di sinilah ia banyak bergelut dengan dunia kemiskinan. Ia melihat kemiskinan itu berkaitan dengan minat baca masyarakat. Di sinilah inspirasi mendirikan perpustakaan itu muncul.

”Memang sudah ada beberapa perpustakaan di Bantul, tetapi sayangnya, sebagian besar malah mati. Penyebab utamanya, ya, sumber daya manusia. Makanya, saya yakin bisa mengelola perpustakaan asal ada kemauan kuat dari diri sendiri,” katanya.


DATA DIRI

Nama: Sumanto

Lahir: Bantul, DI Yogyakarta, 12 Mei 1961

Alamat: Dusun Jati, Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul

Istri: Siti Mardila (48)

Anak:

– Alfi Miranti Hanifah (almarhumah)

– Merviana Aulia (19)

– Baihaqi Handono (16)

– Ariyanti Latifah (14)

Pendidikan:

– SD Sriharjo, Imogiri, Bantul

– SMP Muhammadiyah I, Imogiri, Bantul

– SMA Putra Bakti Pleret, Bantul

Pekerjaan:

– PT Astra International

– Nabasa Life Insurance

– Asuransi Panin

Penghargaan:

– Piagam Rekso Pustoko Bakti Tomo dari Pemprov DI Yogyakarta, 2006

– Juara II lomba Jambore Reading Club, 2008

– Pengelola Perpustakaan Terbaik Bantul, 2008

sumber : Kompas Cetak edisi 4 Desember 2008

Yusuf Arief Rahmanto, Pendiri YMTiny

Amir Sodikin

Salah satu jenis komunikasi teks melalui internet yang populer adalah chatting melalui Yahoo Messenger atau YM. Sebagian penggemar chatting YM lewat telepon genggam pasti tak asing dengan perangkat lunak bernama YMTiny.

Dengan program kecil YMTiny yang di-install pada telepon genggam, kita bisa tersambung ke server YM dan dapat chatting layaknya di komputer. Program ini gratis meski tetap ada biaya akses internet di telepon genggam.

YM via telepon genggam disukai para kaum muda karena selain memberi citra ”gaul”, chatting kepada sesama YM jauh lebih murah dibandingkan dengan mengirim teks lewat SMS. Apalagi biaya akses internet via GPRS relatif makin murah.

Antarmuka YM yang user friendly dan ringan diakses dari telepon genggam membuat chatting lewat YMTiny tak terlalu boros pulsa karena aliran data terbilang kecil dibandingkan dengan produk serupa.

YMTiny bisa diunduh dari situs web http://www.orisinil.com atau di web-web lain seperti http://www.getjar.com. Program ini populer di kalangan pencinta chatting via telepon seluler karena dibagikan gratis.

Banyak yang mengira program ini dibuat pengembang asal luar negeri. Ternyata, YMTiny dibangun orang Indonesia: Yusuf Arief Rahmanto.

”Saya membuat program ini secara tidak sengaja. Tadinya program ini saya buat untuk mendukung penelitian untuk tesis saya,” kata Yusuf. Tesis S-2 Yusuf terkait computer science yang berhubungan dengan instant messaging.

Program itu dia buat tahun 2007. Sebenarnya sudah ada program serupa lainnya yang populer, di antaranya eBuddy, Agile Messenger, dan Mig33. Tetapi, Yusuf nekat ikut masuk, bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dari luar negeri.

”Baru beberapa bulan diluncurkan, programnya sudah banyak diunduh orang. Beberapa situs yang menyediakan layanan download gratisan juga memasang YMTiny,” katanya.

Apakah kemudian sukses itu juga diikuti dengan sukses dalam tesis Yusuf?

”Sampai sekarang tesisnya belum selesai juga he-he-he,” kelakarnya.

Banyak respons yang diterimanya, baik dari dalam maupun luar negeri. Ada juga yang minta fitur tambahan. ”Saya tak punya cukup waktu untuk mengembangkan fitur-fitur YMTiny. Secara teknis bisa terkendala waktu luang saya,” katanya.

Walau banyak program serupa yang dirilis komersial dan sukses di pasaran, seperti Agile Messenger, Yusuf tetap nyaman dengan menggratiskan program itu. ”Tujuannya memang bukan komersial. Kalau mau dibangun lebih besar lagi, kendalanya lagi-lagi waktu.”

Yusuf bekerja sebagai programmer di Universitas Atma Jaya, Jakarta. Dengan pekerjaan tetap ini, ia hanya bisa sesekali muncul lewat blog-nya di http://www.orisinil.com untuk menjawab beberapa pertanyaan yang masuk.

Program YMTiny diluncurkan saat popularitas YM sedang naik. Karena itulah dalam waktu relatif pendek YMTiny telah diunduh ribuan orang. ”Data total tidak tercatat karena program ini gratis dan bisa diunduh dari banyak web,” katanya.

”YMTiny langsung terhubung ke server Yahoo, tidak melewati server perantara. Saya tak memasang statistik yang bisa terhubung pada saya sehingga tidak tahu berapa penggunanya,” jelas Yusuf.

Dari laporan pengguna, bandwidth yang digunakan menjalankan YMTiny lumayan kecil. YMTiny dikhususkan untuk telepon genggam yang mendukung program Java MIDP2. Daftar telepon genggam yang didukung YMTiny bisa dilihat dalam web Yusuf.

SMS Gateway

Ia juga sudah lama meluncurkan program gratis bernama Eazy SMS Gateway. Dengan program ini, pengguna bisa menerima dan mengirim SMS dari perangkat lunak di komputer. Program ini bisa mengelola jawaban ke banyak nomor secara otomatis.

”SMS Gateway termasuk sudah lama, sejak 2004. Programnya sederhana. Semula saya buat iseng, sekadar belajar menemukan sesuatu yang baru. Kemudian, daripada mubazir, mending saya bagi gratis,” katanya.

Dari murni untuk keperluan belajar itulah nama Yusuf mulai dikenal pencari program gratis. ”Program itu masih gratis, karena tak pernah berpikir komersial saya malah lupa tidak mencantumkan harga kalau pengguna ingin versi yang lebih bagus,” katanya.

SMS Gateway bisa juga difungsikan seperti SMS premium. Bedanya, di SMS Gateway nomor yang digunakan nomor biasa. Tarif yang digunakan juga tarif SMS biasa. Sedangkan SMS premium bertarif khusus, tetapi memiliki keunggulan cepat merespons perintah via SMS karena langsung cepat terhubung dengan operator telepon seluler.

Belakangan, Yusuf berpikir untuk mengembangkan SMS Gateway secara profesional. ”Sekarang cuma bisa terhubung dengan satu telepon genggam dan satu nomor, nantinya bisa untuk banyak telepon genggam dan banyak nomor,” katanya.

SMS Gateway bisa dimanfaatkan untuk solusi pengelolaan banyak nomor telepon genggam secara otomatis. ”Bisa dimanfaatkan rumah sakit untuk pendaftaran pasien via SMS, bisa untuk reminder klien, bisa mengelola kontak anggota partai, atau memaksimalkan komunikasi dengan pelanggan,” katanya.

Server pulsa

Hobi mempelajari program yang baru membuat Yusuf terus ”berpetualang”. Kali ini dia ikut-ikutan menciptakan perangkat lunak untuk pengisian pulsa atau akrab disebut server pulsa. Program itu nantinya bisa di-install di komputer untuk dijadikan server yang siap menerima perintah untuk mengisi pulsa telepon seluler.

Perangkat lunak serupa sudah banyak beredar di pasaran, tetapi harganya jutaan hingga belasan juta rupiah. ”Kali ini untuk komersial, tetapi harganya tak akan mahal kok. Nantinya akan ada versi demo sehingga orang bisa mencoba lebih dulu, kalau cocok baru beli,” katanya.

Perintah pengisian pulsa bisa dilakukan lewat SMS atau melalui perintah YM. ”YM ini hanya fitur tambahan. Cara kerjanya sederhana saja, cuma membutuhkan program dengan presisi tinggi,” katanya.

Bisnis server pulsa ini diakui Yusuf sangat kreatif sehingga dia tertarik memahami cara kerjanya. ”Mungkin hanya di Indonesia yang menangkap peluang ini sebagai bisnis server dan bisa dikelola dari rumah,” paparnya.

Program ini sudah 90 persen selesai. Selain program-program itu, jejak Yusuf di dunia maya masih terekam dari perangkat lunak gratis berbasis web yang dibuatnya, yaitu Kamus Orisinil.

Kamus bahasa Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia ini bisa diakses gratis lewat webnya, http://kamus.orisinil.com. Kamus ini juga bisa diakses lewat telepon genggam. Total jumlah masukan yang ada adalah 250.804 unique records dan 209.003 kata yang terindeks.

Diakui Yusuf, kegemaran utak-atik bahasa pemrograman sejak masih STM itu sering membuat dia lupa waktu. Namun, kini, berkat dukungan keluarga, ia mengaku lebih bisa fokus kepada beberapa prioritas.


Data Pribadi

Nama: Yusuf Arief Rahmanto

Lahir: Makassar, 1 Mei 1978


Pendidikan:

– SDN Kreo 2, Tangerang

– SMPN 245 Joglo, Jakarta Barat

– STM Telkom Jakarta Barat

– S-1 Teknik Informatika Universitas Bina Nusantara

– S-2 Magister Komputer Universitas Budi Luhur (belum lulus)

Istri: drg Rizka Darmasanty

Anak: Naila Hannani

sumber : kompas cetak edisi 2 desember 2008

Ahmad Benyamin dan Jeruk dari Kerinci

Ketenangan hidup Ahmad Benyamin belakangan ini terusik. Ia risau melihat petani yang tetap saja berekonomi serba pas-pasan walau sudah bekerja keras. Ia pun terdorong untuk berbuat sesuatu bagi mereka.

Dari sebuah pendopo kecil yang sederhana di tengah hamparan kebun jeruk seluas 8 hektar miliknya, pria berusia 58 tahun ini memandangi rumah kayu berlantai dua di atas bukit perkebunan stroberi.

”Rasanya ruangan di dalam sana bisa muat untuk sekitar 20 petani,” tutur Koai, panggilan Ahmad Benyamin, sambil memperbaiki letak rambut putihnya yang berkibar tertiup angin.

Udara pagi yang sejuk itu kami nikmati dari kaki Gunung Kerinci, tepatnya di Desa Telung Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Lokasi ini hanya berjarak sekitar 300 meter dari perbatasan dengan Sumatera Barat dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Bangunan yang dimaksud Koai kemudian dijadikan kelas bertani hortikultura organik. Tidak hanya para petani yang dapat belajar di tempat ini, mahasiswa atau siapa pun yang berminat mengembangkan pertanian organik dapat bergabung.

Maka, tak heran kalau kebun hortikultura milik Koai kerap dikunjungi petani. Mereka umumnya datang untuk berkonsultasi soal tanaman. Ada yang mengeluh soal serangan hama, mahalnya benih kentang, sampai harga panen yang anjlok.

Koai tak pernah menolak kedatangan mereka. Tangannya selalu terbuka untuk menyambut, tak terkecuali tamu-tamu dari luar daerah yang datang untuk mencicipi segarnya stroberi, jeruk, dan labu mas dari kebunnya.

Mereka tak pernah pulang dengan tangan kosong. Selain buah-buahan hasil panen yang dapat dinikmati, Koai kerap memberi bibit tanaman secara gratis sebagai oleh-oleh bagi para tamu. Semua itu ia lakukan dengan harapan agar semakin banyak orang cinta dan mau bertani.

Ia sering kali miris melihat petani di desanya sulit memperoleh penghidupan layak. Sebagian besar di antara mereka hanya buruh tani. Walau ada petani yang memiliki cukup lahan, tetapi umumnya tak juga mampu menghasilkan panen yang maksimal karena kerap dipermainkan tengkulak.

Koai berhasrat membantu petani keluar dari persoalan klasik ini. Setelah membangunkan sebuah kamp, yang menjadi ”sekolah diklat” petani, ia berharap mereka lebih memahami pertanian organik terpadu hortikultura. Dengan cara inilah, petani dapat menerapkan cara bertanam yang bebas kimia sekaligus bisa berhemat biaya produksi.

Di dalam kamp, petani dapat belajar dan berbagi ilmu. Hamparan kebun miliknya itu menjadi uji coba bagi mereka. Ini termasuk laboratorium kecil untuk pembibitan. Ia juga menyediakan dapur kebun sederhana untuk kegiatan pembibitan dan produksi pupuk kandang.

Pulang kampung

Kecintaan Koai pada pertanian organik hortikultura berawal dari kegamangannya bekerja pada industri kayu. Ia sempat menjadi pegawai negeri sipil di Kalimantan, tetapi merasa bosan. Koai lalu banting setir menjadi pengusaha kayu.

Meski harta mudah didapat dari industri kayu, ia justru merasa gamang. Ia sempat ”protes” akan kehidupan yang dijalaninya. Dalam puncak kegamangan itu, sang ayah yang belum lama memiliki kebun jeruk di Telung Berasap, Kerinci, menawarinya untuk pulang kampung. Koai menyambut ajakan itu.

Kebun jeruk itu mulai dia kelola tahun 1996. Semula hanya jeruk siam yang bibitnya diambil dari Bengkulu dan Tawangmangu yang ditanam. Keluarganya adalah petani perintis penanaman jeruk di kaki Gunung Kerinci itu.

Setelah jeruk berbuah, hasil panen ia jajakan di depan pintu masuk kebun. Setiap hari selalu habis sekitar 100 kilogram. Penjualan selalu berlipat dua kali pada masa Lebaran. Cukup banyak peminat jeruk Koai karena angkutan umum dan travel yang membawa penumpang kerap lewat dan mampir di kebunnya.

Sebagian petani yang melihat kebun itu lalu tertarik menanam jeruk juga. Sampai sekarang sekitar 200-an hektar areal ditanami jeruk oleh masyarakat sekitar kaki Gunung Kerinci.

Menyadari persaingan usaha jeruk semakin tinggi, Koai justru tak khawatir. Ia memilih menambah ragam tanaman di areal kebun. Maka, selain jeruk terdapat pula stroberi, labu mas, dan markisa.

Kepada sembilan karyawannya, Koai menyisakan sebagian lahan untuk menjadi hak guna mereka. ”Mereka bebas mau menanam apa saja, dan hasil panen dapat dinikmati penuh untuk keluarga masing-masing,” tuturnya.

Cara ini dirasakannya lebih memanusiakan buruh tani, karena selepas kerja di kebun sampai pukul 13.00, para karyawan dapat menggarap lahan mereka sendiri. Dengan demikian mereka mendapat penghasilan yang bisa lebih menyejahterakan.

Disi sisi lain, para buruh tani pun dapat lebih mandiri. Hasil panen jeruk bisa langsung mereka jual kepada konsumen, tak perlu melalui tengkulak. Koai senang, sebab petani yang semula miskin, sekarang bisa menyekolahkan anak-anak mereka.

Menolak ketergantungan

Prinsip yang Koai tekankan kepada para petani adalah menolak ketergantungan kepada pasar. Yang dimaksudnya bukan sekadar pasar penjualan hasil panen, tetapi termasuk juga bibit. Untuk merealisasikannya, petani harus tekun melaksanakan pembibitan secara mandiri.

Ia menceritakan pengalamannya membudidayakan stroberi. Pada masa awal, ia membeli dua bibit stroberi dari seorang pedagang tanaman di pasar. Dari dua batang bibit itulah, dalam kebunnya kini telah terhampar 3.000-an pohon tanaman stroberi, yang bisa dipanen sekitar 25 kilogram setiap hari. Stroberi paling diminati pengunjung. Tak sampai sore, buah berwarna merah ini sudah habis terjual.

Menurut dia, bila petani bergantung terus pada bibit dari pedagang atau bantuan pemerintah, keuntungan mereka menjadi kurang maksimal. Apalagi jika harga bibit itu terus merangkak naik.

Petani kentang di Kerinci, misalnya, menurut Koai, ada baiknya memanfaatkan bibit dari stelon kentang. Alasannya, dari satu kentang berharga Rp 500 bisa didapatkan lebih dari 10 bibit. Pemanfaatan ini bisa dikatakan tak berbiaya.

”Kalau 1 kilogram bibit kentang Rp 6.000, coba hitung berapa banyak petani bisa berhemat untuk menanam 100 kilogram,” tuturnya.

Buah-buahan dari kebun Koai rasanya manis, segar, dan wanginya lembut. Ini dihasilkan tanpa rekayasa kimia. Setiap proses penanaman di sana memanfaatkan kotoran ayam, sapi, dan kelinci, serta racikan tumbuh-tubuhan untuk pembasmi hama.

”Ini hasil endapan kencing kelinci,” ujarnya sembari membuka tutup sebuah jeriken. Aroma pekat keluar dari situ. ”Baunya khas. Tapi, ini yang justru membikin buah-buahan di sini harum dan manis,” tuturnya.
Irma Tambunan
Sumber : Kompas Cetak

Fatmah Bahalwan, Ibu Rumah Tangga Penjual Kue

Fatmah Bahalwan, Inspirasikan Teman Berhenti Ngantor (1)

TANGAN Fatmah Bahalwan dengan cekatan memainkan alat penghias kue pengantin. Nantinya, kue itu akan disusun tiga tingkat. Terkesan megah.  Sembari bekerja, perempuan yang kini makin aktif berkecimpung di industri rumahan penganan dan katering itu menerima kedatangan kompas.com di kediamannya, kawasan Matraman Dalam, Jakarta Pusat, beberapa waktu silam. “Ditunggu sama yang pesan soalnya,” begitu kata Mbak Fatmah, sapaan akrabnya.

Krisis moneter alias krismon 1998 adalah langkah pertama keberangkatan Fatmah  memperbesar pundi keuangan keluarga. “Awalnya aku cuma ngumpulin uang seribu-seribu. Di kantor, aku jualan kue sepuluh biji setiap hari,” kenang mantan sekretaris eksekutif di Bank Muamalat ini.

Kue memang membuat Fatmah makin dikenal di kantornya sejak waktu itu. Jadilah, dirinya kerap dipercaya manajemen kantor untuk menyiapkan acara coffee break internal. Tentu saja, selain minuman, nyamikan alias penganan kecil macam kue-kue seperti lemper, sus, risoles, dan sebagainya adalah menu wajib. Peluang di depan mata ini disambarnya untuk berinvestasi kecil-kecilan. “Aku mulai punya teko, cangkir, dan sendok kecil. Investasi minjem nggak sampai dua juta deh,” tuturnya.

Nah, “armada” yang komplet justru menjadi pendukung Fatmah untuk mengembangkan usaha. Ditambah dengan makin seringnya acara coffee break, jumlah kue yang harus dibuatnya makin berlipat hingga 250 buah. “Saya sadar, kebutuhan kue serta coffee break selalu ada di kantor- kantor,” imbuh ibu tiga anak ini.

Di tahun sama, keuangan keluarga terbantu dengan meningkatnya omzet pembuatan kue. Sembari menghitung, Fatmah menjelaskan, dari bikin kue, sedikitnya tambahan Rp750 ribu sebulan diraih. “Waktu itu, gaji saya masih dua jutaan,” katanya.

Waktu bergulir cepat. Tak terasa, lima tahun sudah lewat dari krisis yang mengempaskan rupiah dari kisaran Rp2.500 ke Rp10.000 terhadap sedollar Uwak Sam itu. Selama masa itu, Fatmah malah makin getol membuat segala macam makanan. “Saya bikin tumpeng, kue ulang tahun, dan segala macam. Mulai deh, saya telat datang ke kantor. Izin nggak masuk. Jadi nggak enak lama-lama,” kata penyuka segala macam kegiatan menghias kue ini.

Ternyata, di rumah, Fatmah yang tak bisa diam menyelami segala hal tentang boga memang mulai kebanjiran order. Salah satu pemicu adalah, kebiasaannya  masuk ke komunitas-komunitas di dunia maya. “Tapi, waktu itu belum punya kartu nama. Saya pakai jaringan teman-teman sekretaris,” imbuhnya.

Konsekuensi dari seluruh kegiatannya, lalu, Fatmah jadi super sibuk, di rumah dan di kantor. Terlebih pada bulan puasa, Fatmah mengaku tenaganya betul-betul terkuras demi meladeni beragam pesanan. “Saya harus mulai memilih antara terus menjalankan usaha atau bekerja di kantor,” aku Fatmah yang butuh setahun untuk menimbang-nimbang demi keputusan terbaik.

Begitu keputusan berhenti diambil pada 2004, perempuan kelahiran 15 Januari 1964 ini kehilangan rutinitas kerja kantoran. “Tiga bulan aku merasa seperti itu,” katanya.

Namun, bagi istri Wisnu Ali Martono ini, di masa seperti itu membina jaringan malah merupakan kewajiban menjadi-jadi. Setiap pagi, Fatmah rajin menghubungi dan menyapa para pelanggan. Sekaligus, memperjelas identitas. “Saya juga memberi tahu mereka kalau saya sudah tidak ngantor lagi. Saya bekerja dari rumah,”ujarnya.

Sementara, soal komunitas Natural Cooking Club (NCC) yang didirikannya pada 2005, Fatmah punya cerita sendiri. “NCC saya dirikan untuk mendapatkan pasar. Khususnya, kursus masak,” katanya.

Maka dari itulah, seabrek kegiatan pun tertuang di NCC mulai dari info kursus sampai dengan kegiatan silaturahim kopi darat hingga ke saling tukar kekayaan menu. Membernya kini lebih dari 5.000. “Nah, stabilitas kursus didapat dari milis NCC,” tutur Fatmah.

Ia menambahkan proses saling menguntungkan yang terjadi adalah pada satu sisi anggota milis membutuhkan kursus, sementara, pada sisi lain, kursus adalah sarana untuk mencari uang. “Itu matching. Mereka senang belajar di sini dan kami seneng dapat uang,”katanya.

Hingga tahun ini, dalam hitungan Fatmah, sedikitnya lima orang rekannya sesama anggota milis mulai kepincut atawa jatuh hati mengikuti pilihan bekerja dari rumah. Apalagi, belajar memasak dan membuat kue tidak mungkin bisa sukses kalau seseorang tidak mengerjakan sendiri. “Kuncinya itu,” terang Fatmah.

Maka, Peni Reswati, Vita, Riana, Ika, dan Melani pada akhirnya memutuskan berhenti bekerja untuk kemudian menjalani status baru sebagai pengusaha makanan. Usaha pun dijalankan dari rumah, bukan dari mana-mana. “Pengalaman saya ditiru oleh mereka. Itu positif sekali,” katanya sambil mengatakan bila dalam satu hari, sedikitnya, Rp1 juta tunai pun sudah bisa berada dalam genggaman. (Josephus Primus)

Fatmah Bahalwan, Tukang Ojek Bisa Jadi Manajer (2-habis)

JARAK dari Taman Amir Hamzah di Jakarta Pusat sekitar dua puluh langkah ke awal Jalan Matraman Dalam III. Di bawah plang nama jalan yang mengingatkan kisah penyerbuan pasukan Mataram ke Batavia lebih dari tiga abad itu ada pangkalan tukang ojek.

Nah, kalau Anda datang ke situ dan bertanya di mana kediaman Fatmah Bahalwan, para tukang ojek itu bakal dengan senang hati menunjukkannya. “Nggak jauh kok. lurus aja. Nanti, rumahnya ada di sebelah kanan dari sini,” kata seorang tukang ojek berdialek Betawi seraya menunjuk arah.

Keramahan para tukang ojek di tempat itu, selidik punya selidik, ternyata berkaitan erat dengan kiprah Fatmah berbisnis makanan dari rumah sejak 1998. Hingga kini para tukang ojek itulah yang menjadi mitra mengantarkan pesanan para pelanggan ke segala penjuru Ibu Kota. “Kadang-kadang ada pesanan yang diantar ke Tangerang,” kata Fatmah.

Awalnya, terang mantan sekretaris eksekutif di Bank Muamalat ini, dirinya membutuhkan tenaga tukang ojek untuk meringankan pekerjaan. Bayangkan, bagi yang berbisnis makanan seperti Fatmah, kegiatan memasak sudah barang tentu menguras banyak tenaga. Kalau hal itu masih ditambah dengan kewajiban mengantar pesanan ke pelanggan, bisa-bisa, kondisi badan drop habis-habisan. Bisnis malah jadi seret, risikonya.

Makanya, tatkala pesanan sudah makin banyak dan cenderung tak tertangani dengan baik, Fatmah Bahalwan pun mulai berpikir untuk menggandeng orang lain, memuluskan kerjanya. Sebelum para tukang ojek, tetangga sekitar rumahlah yang dirangkul.

Fatmah mengaku, makin hari pesanan jenis kue kering dan jajanan pasar makin banyak. Pekerjaan membuat penganan seperti itu betul-betul padat karya. “Aku ajak ibu-ibu yang suka ngobrol di depan rumah untuk ikutan. Yuk sambil ngobrol, cetakin kue aja,” kata Fatmah sembari menyebut ada sekitar enam orang tetangga yang tetap membantu sampai sekarang.

Tentu saja, terang Fatmah, para tetangga yang membantu, tetap diganjar dengan penghasilan. Biasanya, sekali membantu, ada uang Rp50 ribu untuk masing-masing orang. “Sebetulnya bukan penghasilan sih. Kalau ada untung, saya bagi-bagi dengan mereka,” imbuh Fatmah merendah.

Cuma, karena bisnis memang tak berhenti sampai di pembuatan kue, Fatmah yang saat ini mampu mengantongi pendapatan sedikitnya Rp1 juta tunai sehari, masih memerlukan tenaga pengantar pesanan langsung sampai ke alamat pelanggan. “Tadinya aku mengantar sendiri. Tapi, kalau pesanan sudah banyak, ya nggak mungkin aku sendiri. Jadi, tukang ojek yang aku mintain bantuan,” kata perempuan yang berprinsip ibu rumah tangga sejatinya bisa menambah penghasilan keluarga justru dari rumah, bukan dari mana-mana.

Fatmah menyebut nama para tukang ojek yakni Iwan, Taufik, Riki, Bang Yanto, dan Bang Boang sebagai partner yang membantu meringankan pekerjaannya. Namun, asal tahu saja, ongkos kirim pesanan memang ditanggung pelanggan. “Kalau kirim kue tart dari sini ke daerah Sudirman Thamrin (jaraknya relatif dekat sekitar lima sampai tujuh kilometer-red), tarif sekali antar Rp25 ribu,” terang Fatmah.

Logikanya, semakin jauh lokasi pelanggan, semakin besar pula ongkos pengantaran. Nah, pada Lebaran lalu, seorang tukang ojek pernah memperoleh pemasukan Rp100 ribu sehari. Ceritanya, ada pesanan kue kering ke Tangerang. “Lumayan kan, hitung-hitung uang itu sebagai THR (Tunjangan Hari Raya),” kata Fatmah.

Namun, sehari-hari, para tukang ojek itu minimal dapat order satu kali pengantaran. “Tapi, kalau lagi ramai, satu orang bisa empat kali jalan,” tutur perempuan kelahiran 15 Januari 1964 itu.

Kalau dihitung-hitung, lalu, bagi para tukang ojek tadi, pendapatan dari mengantar kue, lebih besar daripada mengantar penumpang. Rata- rata, ongkos ojek untuk penumpang sepuluh ribuan. Lagian, bahkan tidak ada penumpang yang minta diantar ke Tangerang dari kawasan tersebut.

Kue tart, nyatanya, membuat para tukang ojek memutar otak. Tak seperti makanan kering, kue tart memerlukan penanganan khusus saat pengantaran menggunakan sepeda motor. Soalnya, kalau membawanya gegabah, kue tart malah bisa rusak di jalan sebelum tiba di tempat tujuan.

Makanya, kata Fatmah, Taufik berboncengan dengan istrinya, Sinta, waktu mengantar kue tersebut. “Pintar juga dia. Karena, dengan berboncengan sama istri, Taufik nggak perlu berbagi ongkos,” kata Fatmah.

Sudah begitu, kalau tak diajak mengantarkan kue tart, Sinta membantu Fatmah memasak. “Artinya, tetap ada penghasilan buat mereka berdua,” ujar ibu dari Alia Prawitasari, Irfan Pradipta, dan Alfi Pramana ini.

Lain lagi cerita Iwan. Kalau Taufik berboncengan dengan istri, Iwan berboncengan dengan sang kakak.

Terus, dengan bermodal telepon genggam, Iwan berani mengambil semua pengiriman ke lokasi-lokasi berbeda dalam waktu relatif bersamaan. Taruhlah pada suatu hari ada pesanan yang harus dikirim ke Kampung Melayu (Jakarta Timur), Senen (Jakarta Pusat), dan Jalan Fatmawati (Jakarta Selatan). Banderolnya, seperti tadi, paling sedikit Rp25 ribu sekali jalan.

Supaya duit pengantaran tidak lari ke mana-mana, pekerjaan tadi dilimpahkan satu ke sang kakak, dan satunya lagi ke rekannya. “Si Iwan sudah jadi manajer kecil-kecilan untuk order tadi,” kata Fatmah tertawa.

Jadi, kalau suatu ketika Anda bertemu dengan tukang ojek di Matraman Dalam III yang emoh alias nggak mau mengantarkan Anda ke tempat tujuan, cermatilah, siapa tahu, tukang ojek itu memang mitra sekaligus manajer andalan Fatmah Bahalwan! (Josephus Primus)

sumber : Kompas.com


Kisah Dosen ITB pemecah Persamaan Helmhotz dari Belanda

Dosen muda Jurusan Teknik Penerbangan ITB, Yogi Ahmad Erlangga, tak menyangka, desertasi doktoralnya di Delft University of Technology Belanda bakal mendapat sambutan meriah. Dalam desertasinya, dia membahas masalah getaran struktur pesawat yang ditimbulkan oleh kerja mesin maupun faktor lain. Getaran ini perlu diukur untuk mendapatkan informasi soal kekuatan badan pesawat.

Dalam penelitiannya itu, Yogi berhasil memecahkan persamaan matematika yang selama ini sulit dipecahkan. Persamaan itu bernama Persamaan Helmholtz. Penyelia dan pembimbing program doktoral Yogi yang bernama Dr Ir Kees Vuik pun memberi sanjungan atas keberhasilan itu. Dia menyebut Yogi telah berhasil menyelesaikan problem yang telah coba dipecahkan selama 30 tahun.

Berkat temuan Yogi, metode perhitungan komputer yang mempergunakan persamaan tersebut menjadi lebih mudah dilakukan. Temuan ini pun menjadikan reputasi Yogi di kalangan saintis dan matematikawan dunia menanjak.

Institusi riset dunia banyak memintanya datang sebagai peneliti tamu. Saat ini Yogi masih berada di Kanada dan mondar-mandir ke sejumlah kota di Amerika Serikat untuk mempresentasikan temuannya itu dengan disponsori Society Exploration of Geophysics (SEG).

Yang membuat Yogi heran, temuannya itu justru mendapat sambutan lebih antusias dari dunia perminyakan. Padahal, objek yang ditelitinya sama sekali tidak terkait dengan dunia tersebut. Usut punya usut, ternyata temuan Yogi itu bisa mempermudah proses pengukuran dalam pencarian sumber-sumber minyak, atau juga dikenal sebagai proses seismik.  ”Saya hanya diberi tahu bahwa berdasarkan pemecahan itu, satu proses komputasi seismik bisa menjadi 100 kali lebih cepat,” ungkap dia. Saat berkesempatan pulang ke Tanah Air, keheranan itu kemudian diceritakan Yogi kepada rekannya sesama dosen muda di Teknik Penerbangan ITB, Khairul Ummah. Selain sebagai dosen manajemen transportasi udara, pria yang biasa disapa Khoirul ini juga banyak menggeluti dunia teknologi komunikasi dan informasi.

Khairul bersama beberapa koleganya dari kalangan matematikawan serta ahli geofisika dan teknik informatika kemudian mencoba mencari tahu hubungan temuan Yogi dengan proses seismik yang selama ini berjalan. Mereka kemudian menemukan jawaban bahwa sebenarnya, selama ini proses seismik di dunia perminyakan masih terkendala sulitnya proses pemecahan Persamaan Helmholtz.

Selanjutnya Khairul mengungkapkan bahwa proses seismik saat ini sedang mengubah proses penghitungan data berbasis waktu menjadi proses yang berbasis frekuensi gelombang. Biasanya, pencarian sumber-sumber minyak dilakukan dengan cara ‘mengukur’ perut bumi. Pengukuran dilakukan dengan mengirimkan sinyal berupa getaran. Saat ini, kebanyakan survei seismik dilakukan secara dua dimensi (2D). Gelombang yang dikirim ke perut bumi, pantulannya diterima kembali di permukaan.

Kalangan industri minyak sebenarnya bermimpi untuk bisa menemukan metode yang lebih baik, yakni agar bumi dapat di-scan lebih cepat dalam blok-blok tiga dimensi (3D). Sayangnya, kemampuan komputer canggih kini tersedia belum bisa mendukung perhitungan matematisnya yang rumit.

Mulanya, perhitungan dalam survei seismik dilakukan berbasiskan waktu rambatan dan pantulan gelombang. Cuma, proses penghitungan berdasarkan waktu, sekarang dirasakan oleh dunia perminyakan masih memiliki beberapa kelemahan. Mereka menganggap informasi yang diperoleh dari proses ini belum maksimal. Para ahli seismik pun kemudian mencoba mengembangkan metode baru berbasis waktu ini dengan basis frekuensi gelombang. Cara ini dianggap bisa memberikan informasi yang lebih lengkap dan lebih maksimal.

”Proses seismik berbasis frekuensi ini sebenarnya bukan hal baru dalam dunia perminyakan,” tutur Khairul. Cuma, kata dia, proses seismik berbasis frekuensi ini selalu terkendala oleh rumitnya proses penghitungan data di komputer. Menurut dia, penghitungan data proses seismik berbasis frekuensi tetap saja sulit dilakukan meski mengandalkan komputer berkemampuan sangat tinggi atau sering disebut super komputer.

Temuan putera pasangan Mohamad Isis dan Euis Aryati ini, menurut Khairul, bisa membuat perhitungan yang tak terpecahkan super komputer menjadi bisa terselesaikan hanya dengan komputer biasa. ”Tapi harus diakui, tidak mudah untuk langsung bisa memahami dan mengaplikasikan temuan Yogi ini,” tutur dia.

Berdasar temuan dan dengan arahan Yogi, Khairul bersama tim kecilnya sekarang terus berimprovisasi untuk mengembangkan pengukuran yang lebih andal dalam proses eksplorasi sumber-sumber minyak di perut bumi. Tim kecil bernama Waveform Inversion (Waviv) ini rencananya akan terus mengembangkan temuan berdasar temuan Yogi. Keuntungan hasil pemikiran Yogi, menurut dia, adalah penghematan memori komputasi dalam penghitungan data-data seismik. Khairul meyakini, metode yang dikembangkannya kini bisa mengambarkan isi perut bumi secara lebih mudah, murah, cepat dan akurat. Tak hanya itu, menurut dia, metodenya juga tetap andal meski perut bumi yang diukurnya memiliki struktur yang kompleks.

Dia pun mengungkapkan bahwa hasil penelitian Yogi ini tak hanya bisa digunakan di dunia perminyakan tapi juga bisa dikembangkan untuk dunia kedokteran. Proses CT scan maupun USG dalam dunia medis bisa sangat terbantu oleh penelitian tersebut. ”Insya Allah ke depan, kami pun akan riset ke arah itu,” ungkap Khairul.

sumber : milis Asrama Salman ITB